Sabtu, 06 Desember 2008

Zainab al-Kubra -radhiallaahu ‘anha-

Zainab radliallâhu ‘anha dilahirkan sepuluh tahun sebelum ayah beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam diangkat sebagai Nabi. Beliau adalah putri pertama Rasulullah dari istri beliau ummul mukminin, Khadijah binti Khuwailid radliallâhu ‘anha.


Hampir sempurnalah sifat kewanitaan Zainab sehingga putra dari bibinya yang bernama Abu al-’?sh bin Rabî’, salah seorang yang terpandang di Makkah dalam hal kedudukan dan harta berhasrat untuk melamar beliau. Dia adalah pemuda Quraisy yang tulus dan bersih, nasabnya bertemu dengan Nabi dari jalur bapaknya, yakni pada ‘Abdi Manaf bin Qushai. Adapun dari jalur ibu, nasabnya bertemu dengan Zainab pada kakek mereka berdua yakni Khuwalid. Karena ibunya adalah Hâlah binti Khuwalid, saudari Khadijah yang merupakan istri dari nabi kita Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam.

Abu al-’?sh mengenal betul tentang kepribadian dan sifat Zainab karena dia sering berkunjung ke rumah bibinya yakni Khadijah. Begitu pula Zainab dan kedua orang tuanya juga telah mengenal bagusnya Abu Al-‘?sh. Oleh karena itu diterimalah lamaran dari pemuda yang telah diridhai Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dan Khadijah, juga oleh Zainab.

Maka masuklah Zainab ke dalam rumah tangga suaminya yakni Abu al-‘?sh. Dalam usianya yang masih muda, Zainab mampu mengatur rumah tangga suaminya hingga menumbuhkan kebahagiaan dan ketentraman. Allah mengkaruniai mereka dalam perkawaninan ini dua orang anak yang bernama ‘Ali dan Umâmah. Maka semakin sempurnalah kabahagiaan rumah tangga dengan kehadiran keduanya dalam rumah yang penuh dengan kebahagiaan dan kenikmatan.

Pada suatu saat ketika Abu al-’?sh berada dalam suatu perjalanan, terjadilah perisiwa besar dalam sejarah kehidupan manusia yaitu diangkatnya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dengan membawa risalah. Bersegeralah Zainab menyambut seruan dakwah yang haq yang dibawa orang tuanya sendiri yakni Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Beliau jadikan Dienullah sebagai pedoman hidup dan undang-undang yang mana beliau berjalan diatasnya.

Tatkala suaminya kembali dari berpergian, Zainab menceritakan perubahan yang terjadi pada kehidupannya yang mana bersamaan dengan kepergian suaminya muncullah dien yang baru dan lurus. Beliau menduga bahwa suaminya akan bersegera menyatakan keislamannya. Akan tetapi beliau mendapatkan suaminya mensikapi kabar tersebut dengan diam dan tidak bereaksi.

Kemudian Zainab mencoba dengan segala cara untuk meyakinkan suaminya, namun ia menjawab: ”Demi Allah! bukannya aku tidak percaya dengan ayahmu, hanya saja aku tidak ingin dikatakan bahwa aku telah menghina kaumku dan mengkafirkan agama nenek moyangku karena ingin mendapatkan keridhaan istriku”.

Hal itu merupakan pukulan yang telak bagi Zainab karena suaminya tak mau masuk islam. Maka isi rumah tangga menjadi guncang dan gelisah. Dan tiba-tiba kegembiraan berubah menjadi kesengsaraan.

Zainab-pun tinggal di Mekkah di rumah suaminya dan tidak ada seorang pun disekelilingnya yang dapat meringankan penderitaannya karena jauhnya dirinya dengan kedua orang tuanya. Ayahnya telah berhijrah ke Madinah ath-Thayyibah bersama-sama sahabatnya sedangkan ibunya telah menghadap Ar-Rafiiqul A’la. Dan saudari-saudarinya pun telah menyusul ayahnya di bumi Hijrah. Tatkala pecah perang Badar, kaum musyrikin mengajak Abu al-‘?sh keluar bersama mereka untuk memerangi kaum muslimin. Akhirnya suaminya mengalami nasib jadi tawanan kaum muslimin. Tatkala Abu al-‘?sh dihadapkan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat : “Perlakukanlah tawanan ini dengan baik”.

Ketika itu Zainab mengutus seseorang untuk menebus suaminya dengan harta yang dibayarkan kepada ayah beliau beserta kalung yang dihadiahkan ibu beliau yakni Khadijah radliallâhu ‘anha, tatkala pernikahannya dengan Abu al-’?sh. Tiada henti-hentinya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam memandang kalung tersebut sehingga menganyutkan hati beliau untuk mengenang istrinya yang setia yakni Khadijah yang telah menghadiahkan kalung tersebut kepada putrinya. Yang mana Zainab tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berharga untuk menebus suaminya yang dicintainya, juga putra bibi yang dekat dengannya. Hal ini mengetuk hati Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya karena betapa mengharukan kisah tersebut. Setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam beberapaa saat terdiam, beliau lalu bersabda dengan lembut dan santun :

“Jika kalian melihat bahwa membebaskan tawanan tersebut dan mengembalikan harta tebusannya (sebagai suatu kebaikan), maka lakukanlah!“. Para sahabat semuanya berkata :”Baik ya Rasulullah”.

Selanjutnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengambil janji dari Abu al-‘?sh agar membiarkan jalan Zainab (untuk hijrah) karena islam telah memisahkan hubungan antara keduanya.

Maka kembalilah Abu al-‘?sh menuju Mekkah sementara Zainab menyambutnya dengan riang gembira. Akan tetapi Abu al-‘?sh datang dalam keadaan lesu ada tersirat rasa kesedihan, kemudian dia berkata kepada istrinya sedangkan kepalanya tertunduk,”Aku datang untuk berpisah, wahai Zainab!”. Maka berubahlah sikap Zainab dari riang gembira menjadi sedih serta meneteskan air mata.

Beliau bertanya dengan terbata-bata: ” Hendak ke mana? Dan untuk keperluan apa wahai suamiku yang kucintai?”.

Berkatalah Abu al-‘?sh sedangkan kedua matanya menatap wajah Zainab: ”Bukan saya yang akan pergi wahai ZainaB, akan tetapi kamulah yang akan pergi. Karena ayahmu telah meminta kepadaku agar aku mengembalikanmu kepadanya sebab Islam telah memisahkan hubungan diantara kita. Aku juga telah berjanji akan menyuruhmu untuk menyusul ayahmu,dan tidak mungkin bagiku untuk memungkiri janji”.

Maka keluarlah Zainab dari Makkah, meninggalkan Abu al-‘?sh dengan perpisahan yang sangat mengharukan. Akan tetapi orang-orang Quraisy menghalangi hijrah beliau dengan mencegah dan mengancam beliau. Ketika itu beliau sedang hamil dan akhirnya kandungannya mengalami keguguran. Selanjutnya beliau kembali ke Makkah dan Abu al-‘?sh merawatnya hingga kekuatannya pulih kembali. Kemudian beliau keluar pada suatu hari disaat orang-orang Quraisy lengah perhatiannya. Beliau keluar bersama saudara Abu al-‘?sh yang bernama Kinânah bin ar-Rabî’ hingga sampai pada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan aman.

Berlalulah masa selama enam tahun beserta peristiwa-peristiwa besar yang menyertainya, sedang Zainab berada dalam naungan ayahnya di Madinah. Beliau hidup dengan optimis tak kenal putus asa, yakni berusaha agar Allah melapangkan dada Abu al-‘?sh untuk masuk Islam.

Pada bulan Jumadil Ula, tahun 6 H, tiba-tiba Abu al-‘?sh mengetuk pintu Zainab, kemudian Zainab membuka pintu tersebut. Seolah-olah beliau tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sehingga beliau ingin mendekat dengannya, namun beliau menahan dirinya karena seharusnyalah memastikan tentang ‘aqidahnya, karena ‘aqidah adalah yang pertama dan yang terakhir.

Abu al-’?sh menjawab: ”Kedatanganku bukanlah untuk menyerah, akan tetapi aku keluar untuk berdagang membawa barang-barangku dan juga milik orang-orang Quraisy, namun tiba-tiba aku bertemu dangan pasukan ayahmu yang didalamnya ada Zaid bin Hâritsah bersama 170 tentara. Selanjutnya mereka mngambil barang-barang yang aku bawa dan akupun melarikan diri. Baru sekarang aku mendatangimu dengan sembunyi-sembunyi untuk meminta perlindunganmu”.

Zainab yang memiliki ‘aqidah yang bersih berkata dengan rasa sedih dan iba: “Marhaban (selamat datang), wahai putra bibi.. Marhaban (selamat datang) wahai ayah ‘Ali dan Umâmah”.

Tatkala Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam selesai shalat shubuh, dari dalam kamar Zainab berteriak dengan suara yang keras: “Wahai manusia sesungguhnya aku melindungi Abu al-‘?sh bin Rabî’. Maka keluarlah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam seraya bersabda: “Wahai manusia apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?”.

Mereka menjawab:”benar, kami mendengarnya, wahai Rasulullah!”.

Beliau bersabda: “Demi Yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tiadalah aku mengetahui hal ini sedikitpun hingga aku mendengar sebagaimana yang kalian dengar. Dan orang-orang yang beriman harus menolong sesama mereka dan memberikan perlindungan kepada orang yang dekat dengan mereka, dan sungguh kita telah melindungi orang yang dilindungi oleh Zainab”.

Kemudian masuklah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, menemui putri beliau, Zainab kemudian bersabda:

“Muliakanlah tempatnya dan janganlah dia berbuat bebas terhadapmu, karena kamu tidak halal baginya”

Selanjutnya Zainab memohon ayahnya agar mau mengembalikan harta dan barang-barang Abu al-’?sh. Maka keluarlah Rasulullah menuju tempat dimana para sahabat sedang duduk-duduk. Beliau bersabda:

“Sesungguhnya laki-laki ini sudah kalian kenal.

Kalian telah mengambil hartanya; jika kalian rela, maka kembalikanlah harta itu kepadanya dan saya menyukai hal itu, namun jika kalian menolaknya maka itu adalah fai’ (rampasan) yang Allah karuniakan kepada kalian dan apa yang telah Allah berikan kepada kalian maka kalian lebih berhak terhadapnya”.

Para sahabat menjawab dengan serentak: “Bahkan kami akan mengembalikan seluruhnya wahai Rasulullah”. Maka merekapun mengembalikan seluruh hartanya seolah-olah dia tidak pernah kehilangan sama sekali.

Selanjutnya Abu al-’?sh pergi meninggalkan Zainab, dia menuju Mekkah dengan membawa sebuah tekad. Tatkala orang-orang Quraisy melihat kedatangannya dengan membawa dagangan mereka beserta labanya, maka mulailah Abu al-’?sh mengembalikan setiap yang berhak, kemudian beliau berdiri dan berseru: “Wahai orang-orang Quraisy masih adakah diantara kalian yang hartanya masih berada ditanganku dan belum diambil?”.

Mereka menjawab, “Tidak! semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, sungguh kami dapatkan bahwa anda adalah seorang yang setia dengan janji dan mulia”.

Kemudian ditempat inilah Abu al-’?sh berkata: “Adapun aku, aku bersaksi bahwa tiada ilâh (Tuhan) yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi Allah! tiada yang menghalangi diriku (tatkala di Madinah) untuk masuk Islam melainkan karena khawatir kalian menyangka bahwa aku hanyalah ingin melarikan harta kalian. Maka tatkala Allah mengembalikan barang-barang kalian dan sudah aku laksanakan tanggung jawabku maka akupun masuk Islam”.

Abu al-’?sh bertolak ke Madinah sebagai seorang Muslim. Beliau berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, dan disanalah beliau bertemu orang yang dia cintai yakni Muhammad dan para sahabatnya. Akhirnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengembalikan Zainab radliallâh ‘anha kepada Abu al-’?sh sehingga berkumpullah keduanya. Mereka bangun kembali rumah tangga sebagaimana sebelumnya dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Akan tetapi mereka sekarang berkumpul dalam ‘aqidah yang satu yang tidak dikotori oleh apapun.

Masa selama satu tahunpun berlalu, kemudian tibalah saatnya perpisahan yang tidak lagi akan bertemu di dunia yang fana ini, sebab Sayyidah Zainab radliallâhu ‘anha wafat pada tahun 8 Hijriyah karena sakit yang masih membekas pada saat keguguran ketika beliau hijrah. Abu al-‘?sh menangisi kepergiannya hingga membuat orang-orang di sekitarnya turut menangis. Kemudian datanglah ِayahanda Zainab, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sedih dan mengucapkan selamat tinggal lalu bersabda kepada para wanita :

“Basuhlah (jasadnya) dengan bilangan yang ganjil, tiga atau lima kali, dan yang terakhir dengan kapur barus atau sejenisnya. Apabila kalian selesai memandikan beritahukanlah kepadaku”.

Tatkala mereka telah setelah memandikan, beliau memberikan kain penutup dan bersabda:”pakaikanlah ini kepadanya”

Semoga Allah merahmati Zainab al-Kubra binti Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam yang telah bersabar, berjuang dan bermujahadah, semoga Allah membalas amalan beliau seluruhnya dengan balasan yang baik. (dimurâja’ah pada hari Jum’at, 10-05-1423 H = 19-07-2002 M)

Tidak ada komentar: